Gajah Loncat

Kamis, 08 Maret 2012

Perbedaan belajar bermakna dengan belajar hafalan (membeo)

PERBEDAAN BELAJAR BERMAKNA DENGAN BELAJAR HAFALAN
1. Belajar Bermakna
Belajar bermakna adalah belajar di mana siswa harus mengkaitkan konsep baru dengan yang diperolehnya dalam bentuk proposisi (hubungan antar konsep) yang benar. Ausubel (dalam Dahar, 1988) menyatakan belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Walaupun kita tidak mengetahui mekanisme biologi tentang memori atau disimpankannya pengetahuan, kita mengetahui bahwa informasi disimpan di daerah-daerah tertentu dalam otak.
Seorang guru biologi dalam mengajarkan konsep-konsep biologi kepada siswa sebaiknya dapat memahami suatu konsep (Amin, 1994). Konsep terbentuk bila dua atau lebih objek-objek yang dapat dibedakan atau kejadian-kejadian/ situasi-situasi telah dikelompokkan bersama dan terpisah dari obyek-objek atau kejadian-kejadian atau situasi-situasi lain  berdasarkan ciri-ciri umum,  bentuk dan sifatnya. Konsep merupakan suatu gagasan atau ide yang didasarkan pada pengalaman (empiris) tertentu dan relevan dan yang dapat digeneralisasikan (Amin, 1994).
Klasifikasi konsep dan sistem konseptual sangat penting karena isu-isu mutakhir yang menantang para guru adalah mengenai konsep-konsep esensial dan subkonsep-subkonsep apa yang harus diajarkan, dalam urutan atau rangkaian yang bagaimana, dan kepada siapakah harus diajarkan sesuai dengan minat, kebutuhan dan kemampuan siswa. Apa yang dimaksud disini ialah cara penalaran untuk  mengklasifikasikan konsep kedalam kategori-kategori yang bermakna, dan cara untuk menghubungkan  kategori-kategori tersebut pada kemampuan intelektual para siswa sehingga mereka tidak hanya memperoleh pengertian yang signifikan tentang makna konsep, tetapi pengalaman belajar itu sendiri juga akan membantu siswa dalam menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan penalarannya.
Konsep itu saling berhubungan satu sama lain dalam sistem yang dinamik yang disebut sistem-sistem konseptual. Pengajaran sistem konseptual dalam bidang biologi harus melibatkan urutan atau rangkaian pengenalan tentang konsep-konsep biologi dalam cara yang bermakna dan relevan. Salah satu strategi pengajaran sistem konseptual ini disebut teknik pemetaan konsep. Tujuan teknik pemetaan konsep adalah untuk memungkinkan guru dan siswa menjadi lebih kreatif dan ekspresif (Amin, 1994).
Konstruksi peta konsep umumnya dibuat oleh guru yang berpengalaman dan menguasai materi biologi yang utuh. Teknik pemetaan konsep memberikan suatu hubungan penting antara teori belajar dan mengajar, khususnya teori belajar dan mengajar biologi. Guru hendaknya menyadari bahwa belajar biologi yang efektif dan bermakna itu dapat dibangun antara konsep-konsep baru dengan konsep-konsep yang telah terbentuk di dalam struktur kognitif siswa. Dengan demikian, penggunaan teknik pemetaan konsep dalam proses belajar mengajar biologi di kelas dapat me-ngurangi kepasifan siswa dan memacu peningkatan minat serta partisipasi siswa dalam proses belajar mengajar yang bermakna (Amien, 1990).
Bila siswa mengatahui bahwa mereka akan terlibat dalam suatu kegiatan belajar seperti pemetaan konsep, maka perhatiannya akan lebih besar dan menjadi lebih berminat untuk melibatkan diri dalam proses belajarnya sendiri. Strategi yang menggunakan peta konsep yang disiapkan oleh guru berupa ekspositori dan berorientasi pada hasil (produk), sedangkan strategi yang menggunakan peta konsep yang dibuat oleh siswa berorientasi pada proses yang memusatkan pada penemuan siswa secara individual atau kelompok (Amien, 1990).
Menurut Ausubel (dalam Arifin, 1995) siswa mengasimilasi pelajaran di-lakukan dengan cara-cara seperti pada Tabel 2.1 berikut.


Tabel 2.1. Bentuk-Bentuk Belajar Menurut Ausubel
Dimensi II
Dimensi I
Hafalan
Bermakna
Penerimaan
  • Materi disajikan dalam bentuk final
  • Siswa menghafal materi yang disajikan
  • Materi disajikan dalam bentuk final
  • Siswa memasukkan informasi ke dalam struktur kognitif
Penemuan
  • Materi ditemukan oleh siswa
  • Siswa menghafal materi
  • Siswa menemukan materi
  • Siswa memasukkan informasi ke dalam struktur kognitif
Sumber Arifin (1995:83)
Selanjutnya Ausubel menjelaskan perbedaan antara belajar bermakna dengan belajar hafalan, belajar bermakna merupakan suatu proses dalam belajar yaitu informasi baru dikaitkan pada konsep-konsep relevan yang telah ada dalam struktur kognitif seseorang. Sedangkan belajar secara hafalan terjadi jika siswa mempelajari konsep-konsep baru secara semuanya dan tidak dihubungkan dengan konsep-konsep relevan yang sudah diketahuinya.
Belajar bermakna berarti belajar dengan memperoleh pemberitahuan yang bermakna. Menurut Ausubel dalam Amin (1990) prasyarat-prasyarat dari belajar bermakna adalah sebagai berikut: (1) materi yang akan diepalajari harus bermakna secara potensial yaitu dengan memperhatikan kemampuan awal siswa, dan (2) anak yang akan belajar atau siswa harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna, jadi mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna (meaningful learning set). Tujuan siswa merupakan faktor utama dalam belajar bermakna. Selanjutnhya kebermaknaan materi pelajaran secara potensial tergantung pada dua faktor: (1) materi ini harus memiliki kebermaknaan logis, (2) gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa. Materi yang memiliki kebermaknaan logis merupakan materi yang non-arbitrat dan substantif.
Agar terjadi belajar bermakna, materi pelajaran harus bermakna secara logis, siswa harus bertujuan untuk memaukkan materi itu ke dala struktur kognitifnya, dan dalam struktur kognitif anak harus terdapat unsur-unsur yang cocok untuk mengkaitkan atau menghubungkan materi baru secara non-arbitrer dan substantif. Jika salah satu komponen ini tidak ada, maka materi itu kalaupun, dipelajari, akan dipelajari secara hafalan (Rosser dalam Dahar, 1989).
Sukmadinata (2001) menyarankan agar pembelajaran dapat bermakna bagi siswa, maka ada dua persyaratan yang harus dipenuhi yaitu: pertama, suatu materi memiliki kebermaknaan logis berarti materi tersebut dapat dihubungkan dengan konsep-konsep yang telah ada pada siswa, maka siswa harus memiliki materi yang sesuai dengan hal yang akan dipelajari. Bila siswa dalam struktur kognitifnya telah memiliki materi, ide-ide yang sesuai, yang memungkinkan materi baru dapat dihubungkan padanya secara secara substantif dan non-arbitrer, maka materi tersebut telah memiliki kebermaknaan potensial. Kedua, sesuai dengan materi yang memiliki kebermaknaan potensial, sebab siswa dapat memberikan makna, hal ini sangat tergantung pada kemauan siswa untuk memberi makna atau tidak. Apabila siswa mempunyai kesiapan untuk memberi makna maka terjadilah belajar bermakna (meaningful learning). Sedangkan Ausubel dan Novak (dalam Susilo, 1987) menjelaskan cara belajar bermakna yang baik ialah melalui subsumption yaitu dengan mengkaitkan konsep baru yang khusus ke konsep lain yang lebih umum atau lebih inklusif, yang membentuk sebagian dari struktur pengetahuan siswa saat itu, yaitu yang sudah ada dalam ingatannya. Pada saat terjadi sub-sumption itu, struktur pengetahuan siswa menjadi lebih terdiferensiasi, sehingga mempermudah terjadinya asimilasi konsep-konsep lain yang lebih baru.
  1. 2. Pengertian Peta Konsep
Definisi konsep yang diadopsi dari Novak (1984) adalah sebagai regularitas (keteraturan) di dalam kejadian-kejadian atau objek-objek yang diarahkan oleh suatu tanda atau simbol. Konsep-konsep di dalam satu peta konsep berkaitan antara satu dengan yang lain oleh garis-garis penghubung yang mendefinisikan proposisi-proposisi hubungan-hubungan sepsifik antara konsep-konsep tersebut. Misalnya “fotosintesis menghasilkan oksigen”. Pemerolehan hubungan-hubungan itu adalah elemen kunci di dalam pembelajaran bermakna. Oleh karena konsep-konsep itu merupakan penyajian-penyajian internal dari sekelompok stimulus-stimulus, konsep-konsep itu tidak dapat diamati: konsep-konsep harus disimpulkan dari perilaku. Selanjutnya Dahar (1989) menyatakan konsep merupakan dasar berpikir, untuk belajar aturan-aturan, dan akhirnya untuk memecahkan masalah. Dengan demikian konsep merupakan dasar bagi proses-proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi-generalisasi maupun untuk peme-cahan masalah.
Menurut Ausubel (1978) ada dua cara pemerolehan konsep, yaitu pemben-tukan konsep dan asimilasi konsep. Pembentukan konsep disebut sebagai abstraksi dari pengalaman-pengalaman yang melibatkan contoh-contoh konsep. Asimilasi konsep merupakan cara untuk memperoleh konsep dengan menggunakan konsep lain yang terbentuk. Selanjutnya Ausubel (dalam Hadikoswara, 1998) menjelaskan bahwa pengembangan konsep akan berlangsung dengan baik, bila unsur-unsur yang paling inklusif/umum dari suatu konsep diperkenalkan terlebih dahulu, diikuti oleh konsep-konsep yang lebih khusus secara vertikal ke bawah atau disebut juga sebagai konsep-konsep yang disusun dalam bentuk bagan yang mengandung beberapa proposisi yang dikenal sebagai peta konsep. Susilo (2001) peta konsep adalah alat untuk mewakili adanya keterkaitan secara bermakna antar konsep sehingga membentuk proposisi, proposisi yaitu dua atau lebih konsep yang dihubungkan dengan garis yang diberi label (kata penghubung) sehingga memiliki suatu arti. Nur (2000b) mengatakan peta konsep merupakan perwakilan visual (melalui penglihatan) atau organisator grafik tentang hubungan-hubungan antara konsep-konsep tertentu. Mardiningsih (2001) peta konsep adalah suatu strategi yang dapat membantu para siswa melihat dan memahami keterkaitan antar konsep yang telah dikuasainya. Novak dan Gowin, 1984; Feldsine, 1987; Fowler; 1987; Morira, 1987 (dalam Sumaji, 1998) menyimpulkan bahwa peta konsep adalah suatu alat skematis untuk merepresentasikan suatu rangkaian konsep yang digambarkan dalam suatu kerangka proposisi yang mengungkapkan hubungan-hubungan yang berarti antara konsep-konsep dan menekankan gagasan-gagasan pokok.
Peta konsep  disusun hierarkhis, konsep yang lebih umum berada di atas map itu. Miskonsepsi dapat diidentifikasi dengan melihat hubungan antara dua konsep apakah benar atau tidak. Biasanya miskonsepsi dapat dilihat dalam proposisi yang salah dan tidak adanya hubungan yang lengkap antar konsep (Novak dan Gowin, 1984).  Dengan membandingkan antara peta konsep  awal, tangah, dan akhir, kita dapat mendeteksi konsep-konsep mana yang kurang tepat dan sekaligus perubahan konsepnya. Untuk lebih melihat mengapa siswa beranggapan seperti itu, ada baiknya peta konsep  itu digabung dengan wawancara klinis. Dalam wawancara itu siswa diminta mengungkapkan lebih mendalam gagasan-gagasannya dan mengapa ia punya gagasan tersebut (Sumaji, 1998). Karena peta konsep menunjukkan hubungan antara ide-ide, peta konsep dapat membuat makna ide-ide dan istilah-istilah dan membantu memahami lebih baik apa yang dipelajari, peta konsep dapat dihasilkan oleh siswa sendiri-sendiri, kelompok-kelompok kecil, atau seluruh kelas (Nur, 2000b). Pemetaan konsep sangat efektif untuk membantu siswa belajar bermakna, yaitu memahami hubungan logika antara konsep yang satu dengan konsep yang lain (Mardiningsih, 2001). Guru hendaknya menyadari bahwa belajar yang efektif dan bermakna itu dapat berlangsung bila hubungan-hubungan dapat dibangun antara konsep-konsep baru dengan konsep-konsep yang telah terbentuk di dalam struktur kognitif siswa. Dengan demikian penggunaan teknik pemetaan konsep dalam proses belajar-mengajar biologi dikelas dapat mengurangi kepasifan siswa dan memacu peningkatan minat serta partisipasi mereka dalam proses belajar mengajar yang bermakna. Bila siswa mengetahui sebelumnya bahwa mereka akan terlibat dalam suatu kegiatan belajar seperti pemetaan konsep, maka perhatiannya akan lebih besar dan menjadi lebih berminat untuk melibatkan diri dalam proses belajarnya sendiri (Amin, 1990).
Peta konsep yang paling baik adalah yang dibuat sendiri oleh siswa. Di samping itu peta konsep bersifat fleksibel, artinya dapat sederhana dan dapat pula kompleks, dapat linier atau bercabang, dan dapat pula bersifat  hirarkis. Maka pembelajaran  dengan membimbing siswa  trampil membuat peta konsep diharapkan dapat meningkatkan hasil pemahaman suatu konsep dengan baik, karena siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran dan guru berperan sebagai fasilitator atau moderator (Mardiningsih, 2001). Oleh karena peta konsep itu  mengungkapkan konsep-konsep dan proposisi-proposisi yang dimiliki seseorang, maka guru dan siswa, demikian pula siswa dan siswa dapat mengadakan diskusi untuk saling mengemukakan mengapa suatu hubungan proposisional itu baik atau sahih. Dengan cara ini dapat diketahui kekurangan dalam mengaitkan konsep-konsep (Dahar, 1989).
3. Cara Menyusun Peta Konsep
Untuk menyusun peta konsep dapat disesuaikan dengan tujuan pengajaran. Misalnya, penyusunan peta konsep pada konsep ekosistem maka siswa dapat membaca dengan teliti materi pelajaran tersebut, setelah itu siswa dapat menentukan konsep-konsep yang penting. Konsep-konsep yang sudah dipilih disusun secara berurutan, untuk konsep yang paling umum diletakkan paling atas dan diurut ke bawah sesuai tingkat inklusifnya, dan disusun secara vertikal. Untuk menghubungkan dua atau lebih konsep yaitu konsep yang inklusif dengan konsep yang kurang inklusif digambarkan di bawahnya, maka akan diperoleh suatu bentuk hierarki pada peta konsep. Kata penghubung harus digunakan untuk menghu-bungkan antara konsep secara horizontal yang menggunakan garis tanda panah yang menuju pada konsep yang terkait dengannya (Shaka dan Bitner, 1997).
Membuat peta konsep dapat dilakukan dengan mengikuti beberapa langkah yang disaran oleh Dahar, (1989) dan Novak (1984) yaitu: (1) Memperkenalkan sifat-sifat konsep-konsep, belajar bermakna dan belajar hafalan. Menekankan pada keuntungan belajar bermakna, (2) Mendemonstrasikan beberapa contoh peta konsep untuk topik yang telah dikenal, (3) Memperkenalkan 6 langkah pembuatan peta konsep, yaitu: (a) Membaca bahan bacaan, (b) mengidentifikasi konsep-konsep utama, (c) mengurutkan konsep dari yang paling inklusif ke yang kurang inklusif, (d) menulis, mengkaitkan, dan memberi kata penghubung untuk membentuk peta, (e) mengembangkan cabang, dan (f) membuat kaitan silang, (4) Memberi latihan-latihan pada siswa menyusun peta konsep untuk materi yang telah diajarkan dan disarankan siswa untuk memperbaiki petanya, (5) menyampaikan kriteria penilaian, bahwa peta konsep yang baik adalah peta yang mempunyai banyak konsep, banyak tingkat hierarki, dan banyak kaitan silang. Contoh peta konsep dapat dilihat dilihat pada gambar 2.1 dan 2.2 berikut.






Polusi Udara

Sebagai akibat penggunaan





Gambar 2.1 Contoh Peta Konsep Polusi Udara
(Sumber: Shaka dan Bitner, 1997)
Gambar 2.2 Contoh Peta Konsep Sistem Ekskresi
(Sumber: Shaka dan Bitner, 1997)
4. Kelebihan dan Kelemahan Peta Konsep
  1. a. Kelebihan Peta Konsep
Ausubel dan Novak (dalam Dahar, 1995) menyatakan ada tiga kegunaan dari belajar bermakna, yaitu sebagai berikut: (1) informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat, (2) informasi yang tersubsumi mengakibatkan peningkatan diferensiasi dari subsumer-subsumer, jadi memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip, (3) informasi yang dilupakan sesudah subsumi obliteratif, meninggalkan efek residual pada subsumer, sehingga mempermudah belajar hal-hal yang mirip, walaupun telah terjadi lupa.
Gibson (1996) menyatakan bahwa pendekatan peta konsep dapat bermanfaat dalam pembelajaran konsep pada perkuliahan biologi. Dengan pendekatan ini, konsep-konsep kunci ditata dalam sebuah tatanan hirarkis dengan hubungan yang menunjukkan keterkaitan konsep. Harapannya adalah bahwa hal ini akan membantu para guru dan yang sedang memusatkan perhatian pada tugas pelajaran yang spesifik. Peta konsep dapat menunjukkan secara visual berbagai cara yang dapat ditempuh dalam menghubungkan pengertian konsep di dalam permasa-lahnnya, sehingga terjadi keterkaitan antara konsep dalam bentuk proposisi di mana seperangkat konsep tersebut harus menyatu dalam bentuk proposisi sehingga dapat dikatakan bahwa peta konsep adalah alat untuk menyatakan secara eksplisit konsep dan proposisinya.
Pembelajaran dengan menggunakan Peta konsep memiliki kelebihan dan kelemahan yang akan dibahas lebih lanjut. Adapun kelebihan pembelajaran dengan menggunakan peta konsep yang dinyatakan Novak dan Gowin (1984) sebagai berikut.
1) Bagi Guru
a)         Pemetaan konsep dapat menolong guru mengorganisir seperangkat pengalaman belajar secara keseluruhan yang akan disajikan.
b)        Pemetaan konsep merupakan cara terbaik menghadirkan materi pelajaran, hal ini disebabkan peta konsep adalah alat belajar yang tidak menimbulkan efek verbal bagi siswa, karena siswa dengan mudah melihat, membaca dan mengerti makna yang diberikan.
c)      Pemetaan konsep menolong guru memilih aturan pengajaran berdasarkan kerangka kerja yang hierarki, hal ini mengingat banyak materi pelajaran yang disajikan dalam urutan yang acak.
d)      Membantu guru meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengajarannya.

2) Bagi Siswa
a)      Pemetaan konsep merupakan cara belajar yang mengembangkan proses belajar bermakna,  yang akan meningkatkan pemahaman siswa dan daya ingat belajarnya.
b)      Dapat meningkatkan keaktifan dan kreatifitas berpikir siwa, hal ini menimbul-kan sikap kemandirian belajar yang lebih pada siswa.
c)      Mengembangkan struktur kognitif yang terintegrasi dengan baik, yang akan memudahkan belajar.
d)      Dapat membantu siswa melihat makna materi pelajaran secara lebih kompre-hensif dalam setiap komponen konsep-konsep dan mengenali hubungan antara konsep-konsep berikut.

b) Kelemahan Peta Konsep
Beberapa Kelemahan atau hambatan yang mungkin dialami siswa dalam menyusun peta konsep, antara lain: (1) perlunya waktu yang cukup lama untuk menyusun peta konsep, sedangkan waktu yang tersedia di kelas sangat terbatas, (2) sulit menentukan konsep-konsep yang terdapat pada materi yang dipelajari, (3) sulit menentukan kata-kata untuk menghubungkan konsep yang satu dengan konsep yang lain.
Jadi hambatan yang kemungkinan dialami siswa akan dapat diatasi dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: (1) siswa diminta untuk membuat peta konsep di rumah, dan pada pertemuan  berikutnya didiskusikan dalam kelas, (2) siswa diharapkan dapat membaca kembali materi dan memahaminya, agar dapat mengenali konsep-konsep yang ada dalam bacaan sehingga dapat mengkaitkan konsep-konsep tersebut dalam peta konsep.

5. Penggunaan Peta Konsep dalam Pembelajaran Kontekstual
Pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa dari TK sampai dengan MA/SMU untuk menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan dalam sekolah dan luar sekolah agar dapat memecahkan masalah-masalah dunia nyata atau masalah-masalah yang disimulasikan (University of Washington, dalam Nur, 2001). Lebih lanjut dijelaskan pembelajaran kontekstual terjadi apabila siswa menerapkan dan mengalami apa yang sedang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah dunia nyata yang berhubungan dengan peran dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, siswa, dan tenaga kerja.
Peta konsep merupakan salah satu alat ukur dalam Assessment pembelajaran kontekstual, yang mana pada prinsipnya adalah tidak hanya menilai apa yang diketahui siswa, namun juga menilai apa yang dapat dilakukan oleh siswa. Penilai-an tersebut sangat mengutamakan penilaian kualitas hasil kerja siswa dalam me-nyelesaikan tugas. Sistem ini sesuai dengan sistem performance assessment.
Adapun komponen-komponen dari suatu performance assessment meliputi empat hal berikut ini: (a) tugas yang dikehendaki siswa menggunakan pengetahuan dan proses yang telah mereka pelajari, (2) Check-list, mengidentifikasi elemen-elemen    tindakan    atau    hasil     yang diperiksa, (3) seperangkat deskripsi dari suatu proses atau suatu kontinum nilai kualitas (rubrik) yang digunakan sebagai dasar untuk menilai keseluruhan kerja, dan (4) contoh-contoh dengan mutu yang sangat baik sebagai model dari tugas yang harus dikerjakan.
Constektual Teaching and Learning (CTL) menekankan berpikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan lintas disiplin, serta pengumpulan, penganalisis dan pensintesisan informasi dan data dari berbagai sumber dan pandangan. Selanjutnya University of Washington (dalam Nur, 2001) menyatakan 6 kunci CTL sebagai berikut: (1) pembelajaran bermakna, (2) penerapan pengetahuan, (3) berpikir tingkat tinggi, (4) kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar, (5) responsif terhadap budaya, dan (6) penilaian autentik.
Pendekatan kontekstual didasarkan pada kecenderungan pemikiran tentang belajar yang diadopsi dari Nurhadi (2003) sebagai berikut.
1) Proses Belajar
Beberapa pendekatan yang berkaitan dengan proses belajar, diantaranya (1) belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan dari benak mereka sendiri, (2) anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru, (3) para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan (subject matter), (4) pengetahuan tidak dapat dipisahpisahkan menjadi fakta-fakta atau poposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan, (5) manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru, (6) siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, dan (7) proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang.

2) Siswa Sebagai Pebelajar
Belajar merupakan hal yang penting bagi siswa dalam mengikuti pelajaran, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain sebagai berikut:
a)      Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan belajar dengan cepat hal-hal baru.
b)      Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting.
3)      Peran orang dewasa (guru) membantu menguhubungkan antara yang baru dan yang diketahui.
c)      Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
3) Pentingnya Lingkungan Belajar
Lingkungan belajar sangat menentukan bagi siswa dalam mengikuti pembelajaran, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain sebagai berikut:
a)      Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa.
b)      Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan pengeta-huan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya.
c)      Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang benar.
d)      Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk pembelajaraan kooperatif itu penting.
http://sman1kobi.sch.id/news/peta-konsep-untuk-belajar-bermakna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar